Mata Memandang Saat Shalat
Kerap kali kita menyaksikan saat seseorang sedang shalat
pandangan matanya melirik ke arah lain atau memandang ke atas, dan ada juga
yang memejamkan atau menutup matanya. Yang melirikkan matanya mengesankan
orang tersebut tidak khusyu, sedangkan yang menutup matanya mengesankan orang
tersebut sedang berusaha untuk khusyu di dalam shalatnya. Lantas bagaimanakah
petunjuk dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hal ini?
Sesungguhnya di antara kesalahan orang yang shalat adalah
memandang ke tempat selain tempat sujud dan memejamkan matanya. Telah datang
perintah yang menganjurkan orang shalat untuk menundukkan pandangannya dan
melihat tempat sujud, kecuali saat tasyahhud (duduk tahiyat) dimana
hendaknya memandang isyarat jari telunjuknya dan tidak lebih dari itu.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Aku bertanya
kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tentang menoleh ketika
shalat. Beliau bersabda, “Menoleh itu adalah ikhtilash (upaya tipu daya)
yang dilakukan oleh syaithan dari shalat yang dikerjakan seorang hamba.”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam ash-Shahih II/234 dan VI/338, Abu Dawud
di dalam as-Sunan I/239, at-Tarmidzi di dalam al-Jaami II/482, dll.)
Dari Anas radhiallahu ‘anhu dia berkata, “Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam bersabda, “Bagaimana keadaan kaum yang mengangkat pandangan
matanya ke langit ketika shalat?” Beliau sangat keras menanggapi masalah ini
sehingga beliau bersabda, “Hendaklah mereka benar-benar mengakhiri perbuatan
itu atau hendaklah mereka benar-benar menjaga pandangan mata mereka.”
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam ash-Shahih II/233, an-Nasa’i di dalam
al-Mujtaba III/7, Abu Dawud di dalam as-Sunan I/240, dll.)
Dari Jabir bin Samrah radhiallahu ‘anhu dia berkata,
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Hendaklah sekelompok
orang benar-benar menghentikan pandangan mata mereka yang terangkat ke langit
ketika shalat atau pandangan itu tidak akan kembali lagi pada mereka.”
(Diriwayatkan oleh Muslim di dalam ash-Shahih I/321, Abu Dawud di dalam
as-Sunan I/240, Ibnu Majah di dalam as-Sunan I/332 dan Ahmad di dalam al-Musnad
V/90)
Menoleh dalam shalat selain bisa memutus konsentrasi kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala, juga disebut sebagai ikhtilash yang artinya
sesuatu yang dirampas secara paksa dan secara sombong. Atau sesuatu yang
disambar dan dibawa lari tanpa ada perlawanan, sekalipun dalam pengawasan
pemiliknya. Dalam bahasa Arab, yang disebut dengan naahib (perampas)
adalah orang yang mengambil barang dengan paksa dan menggunakan kekuatan.
Sedangkan yang dimaksud dengan saariq (pencuri) adalah orang yang
mengambil barang sewaktu pemiliknya lengah. Ketika syaithan membujuk orang yang
sedang shalat untuk menoleh ke arah mana saja tanpa ada keperluan, maka dia
serupa dengan mukhtalish. Dinamakan dengan ikhtilash karena
sebagai ungkapan buruk perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya, sebab orang
yang sedang shalat pada hakikatnya sedang menghadap Rabb-nya Subhanahu wa
Ta’ala, dan syaithan akan selalu mengintai kelengahannya. Ketika dia menoleh
itulah syaithan akan mencuri kesempatan dan menguasai kondisi tersebut. (Fathul
Baari II/235)
Namun shalat tidak menjadi batal karena menoleh kecuali jika
sampai berpaling dari arah kiblat atau membelakanginya. Ibnu Abdil Barr berkata,
“Jumhur ulama mengatakan bahwa menoleh yang ringan (tidak keterlaluan) tidak
menyebabkan shalat menjadi rusak.”
Mengenai memejamkan mata dalam shalat, Ibnul Qayyim berkata,
“Memejamkan mata bukanlah ajaran yang dicontohkan oleh
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika shalat. Telah dijelaskan
bahwa beliau memandang jari telunjuknya ketika duduk tasyahhud dan pandangan
beliau tidak melebihi jari telunjuknya itu.”
Al-Fairuz Abadi berkata, “Dahulu Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam membuka kedua matanya al-mubarakah (yang penuh berkah)
ketika mengerjakan shalat. Beliau tidak memejamkannya sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang yang ahli ibadah.” (Safar as-Sa’adah hal. 20)
Banyak hadits yang membuktikan bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam tidak memejamkan kedua matanya
ketika shalat. Di antaranya ketika beliau menghalangi binatang yang hendak
lewat di hadapannya ketika shalat, melihat surga dan neraka, ketika menghalangi
seorang pemuda dan wanita yang akan lewat di depannya dan ketika syaithan
datang kepadanya ketika shalat lantas beliau memegang dan mencekiknya.
Para ulama masih memperselisihkan apakah memejamkan mata
ketika shalat makruh atau tidak. Bahkan ada sebagian ulama yang membolehkannya
karena memejamkan mata sangat membantu seseorang untuk khusyu yang menjadi ruh
shalat. Namun yang benar jika tanpa memejamkan mata bisa mengerjakan shalat
dengan khusyu, maka itu lebih afdhal. Sedangkan apabila benda yang berada di
hadapannya bisa mengganggu konsentrasinya , maka tidak makruh memejamkan mata.
Bahkan yang mengatakan sunnah dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dengan
maksud syariat daripada memvonisnya sebagai perbuatan makruh. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar