Katakanlah : Sesungguhnya sholatku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama menyerahkan diri kepada Allah
(QS. Al-An'am ; 162-163)
Keyakinan ini selayaknya menjadi bangsa ini setiap waktu. Terlebih ketika banyak cobaan menimpa, dari ujung timur hingga ujung barat, dari ujung selatan hingga ujung utara wilayah Indonesia ditimpa bencana. Ujian demi ujian mendera bangsa Indonesia dan itu pasti akan selesai dan akan berganti dengan kebahagiaan.
Setiap masalah harus dicarikan solusi, kepedihan harus dicari obatnya. Sebab, proses turunnya bantuan dari Allah SWT juga terkait dengan sejauh mana umat ini berusaha dan bekerja menyongsong bantuan tersebut. Demikian juga dengan masalah yang dihadapi oleh bansa ini, sehingga sangat diperlukan masyarakat yang benar-benar ikhlas.
Seperti kisah Panglima Maslamah. Suatu ketika, dalam ekspedisi militernya, ia menghadapi masalah besar. Daerah musuh yang akan ditaklukannya masih luas terbentang di hadapannya. Benteng merekapun kokoh berdiri tegak menantang. Seakan kecongkakannya tak bisa ditembus oleh siapapun.
Panglima Maslamah lalu berpikir keras untuk mencari strategi tepat. Jika menggunakan pertempuran umum, dengan mengerahkan tentara begitu saja ke dekat benteng tentu akan makan banyak korban. Benteng itu demikian tinggi dan dijaga ketat. Anak panah dengan mudah bermuntahan ke bawah. Maslamah sadar, meski setiap mujahidin menginginkan syahid di medan laga, Ia harus memperkecil kemungkinan banyaknya tentara yang gugur. Apalagi jumlah mereka sangat disbanding laskar musuh.
Tiba-tiba ia menemukan jalan. Dilihatnya sebuah lorong dalam benteng, kurang terjaga kuat. Jika lorong itu tersebut dapat ditembus dan dibuka pintunya tentu tentara denag mudah menyerang ked a;am benteng. Masalahnya pekerjaan itu tak dapat dilakukan secara terang-terangan, apalagi melibatkan banyak pasukan. Bias jadi malah kekacauan yang terjadi. Sebab, bila strategi itu terbaca, mereka segera akan mengerahkan kekuatan untuk mempertahankan pintu itu mati-matian.
Setelah memutar otak, Maslamah berkesimpulan, pekerjaan itu harus dilakukan oleh seseorang yang kuat dan pemberani, yang dapat menyelinap dan menaklukan para penjaga tanpa menimbulkan kehebohan. Maka di kemah pertahanannya, Maslamah mengumpulkan pasukannya. Ia menceritakan taktik yang sedang dipikirkannya. Setelah itu ia bertanya, “ Siapakah yang berani merelakan dirinya untuk mengemban tugas ini ?” sunyi, tak ada jawaban. Para mujahidin saling berpandangan. Maslamah mengulang kembali pertanyaannya. Tetap tak ada jawaban.
Maslamah tercenung, apakah strategi yang paling mungkin ini harus dirubah ?. Tak adakah seorang prajurit yang rela berkorban demi terbukanya peluang ini ?. Maslamah hampi saja patah arah, ketika tiba-tiba seorang penunggang kuda mendekatinya. Dan atas pelana, orang itu berseru, “ saya yang akan melaksanakan tugas itu wahai Maslamah
Maslamah terkejut. Dipandanginya orang yang tiba-tiba saja berada di hadapannya. Badannya tegap. Di pingggangnya terselip pedang yang bersilau. Sorot matanya tajam laksana harimau lapar yang siap menerkam mangsanya. Tapi, subhanallah, orang itu menyembunyikan wajahnya di balik kain penutup kepala yang dibelitkan ke wajah. Hanya mata dan pangkal hidungnya saja yang tampak. Tak lama orang itu beranjak meninggalkan Maslamah. Doa maslamah mengiringi kepergiannya, “mudah-mudahan Allah menolongnya” bisiknya lirih.
Beberapa saat kemudian, orang itu muncul lagi. Ia memberi isyarat bahwa penjaga pintu telah ia taklukkan. Segera saja pasukan menyerbu benteng itu. Pertempuran dahsyat tak terelakkan. Jerit takbir dan denting pedang-pedang berhasutan, silih berganti. Tak lama kemudian, jerih payah itu membuahkan hasil. Allah SWT melimpahkan karunia-Nya. Pasukan yang dipimpin Maslamah berhasil meraih kemenangan.
Usai pertempuran, maslamah kembali berteriak, “wahai orang yang bercadar, siapakah anda sebenarnya? Kemarilah, perkenalkan dirimu !” Namun tak seorang menyahut. Apalagi mengakui dirinya penakluk pintu benteng. Para mujahidin hanya bias saling berpandangan. Mereka juga ingin mengetahui siapa sebenarnya manusia yang gagah perkasa itu.
Selang beberapa lama, datanglah seseorang ke kediaman Maslamah. Orang itu berkata, “ jika Tuan ingin mengetahui siapa sebenarnya orang yang bercadar itu, saya bias memberi tahu.”
“Engkaukah orang yang bercadar itu?” sergah Maslamah.
“Sebelum saya memberi tahu siapa orang yang bercadar itu, Tuan harus memenuhi tiga syarat,” kata orang itu. Maslamah makin penasaran. Dengan segera ia menyetujui persyaratan yang diajukan.” Baiklah, katakana saja,”sahut Maslamah.
“Tiga syarat itu adalah: Pertama, Tuan jangan bertanya siapa namanya. Kedua, jangan memberi hadiah apapun padanya. Ketiga, jangan ceritakan peristiwa ini kepada Amirul Mukminin.”
“Baiklah,” jawab maslamah. “ sekarang katakana,” lanjutnya.
“Sayalah orang yang bercadar itu, “ kata orang tersebut.
Maslamah terperanjat. Rasa kagum, haru, juga gembira berbaur dalam hatinya.
Seketika ia mengangkat tangannya, Ya Allah, kumpulkan aku di surga bersama orang bercadar ini.”
Begitulah, sejarah pun tak tahu siapa nama orang bercadar itu. Tapi sejarah telah mencatat sisi lain dari peristiwa itu, bahwa pada setiap zaman selalu ada pahlawan. Pahlawan itu tak ingin dikenal namanya atau dibesar-besarkan kegigihannya. Allah berkuasa membangkitkan pada setiap zaman, pada setiap kesulitan, orang-orang tulus dan siap mendobrak pintu-pintu kezaliman.
Keihklasan adalah puncak dari pengalaman ajaran agama (islam). Dari sanala amal dimulai. Seberapapun masalah yang kita hadapi, kejernihan hati, ketulusan jiwa, dan keikhlasan beramal akan menjadi pendobrak yang luar biasa.
Sebaliknya sikap riya’ pasti akan mengantarkan pada kegagalan, bahkan kebinasaan di dunia sampai akhirat.
Allah SWT telah memperingatkan hal ini dengan firmannya, “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang keluar dari kampong halamannya dengan sombong dan riya’ kepada manusia.” (QS. Al-Anfal ; 47).
Kalau begitu ikhlas yu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar